Room 1912

Matahari sudah terlalu tinggi, sinarnya menerobos masuk melalui sela-sela tirai yang kemarin malam sengaja kubuka.

“Bangun sayang … sudah siang” suara baritonmu membuat kelopak mataku membuka, tapi rasanya enggan bergeser dari rengkuhan lenganmu yang selalu menentramkanku. Membaui harum tubuhmu di waktu aku terjaga itu seperti candu.

Matahari dan jam dinding yang berdetak itu tidak terlalu penting untuk mengukur waktu lagi sekarang, bersamamu membuat waktu nyaris kubunuh paksa. Saling menikmati detak jantung yang memburu, membuat semua yang ada selain kita adalah kosong dan tidak penting. Apapun yang kamu lakukan mampu membuatku tergila-gila, bahkan hanya dengan sedikit sentuhan dan tatap mata yang selalu menghanyutkanku itu kamu adalah orang yang paling berhak untuk membuatku selalu menurut dengan keputusanmu, pun untuk hal menyangkut diriku sendiri.

Semakin lama, semakin candu ini mencengkeramku, adalah kamu dan satu-satunya yang mempunyai posisi begitu penting dalam hidupku. Lelakiku, berapa kali kau berucap tak ingin merubahku seperti hamba yang patuh taat pada majikannya, aku harus selalu menjadi aku seperti awal pertama kamu jatuh cinta karena keunikanku. Bagaimana mungkin, sedangkan aku sudah terinfeksi oleh dirimu dalam setiap sel darah yang mengalir di tubuhku.

Sore itu,

Ketika matahari sudah tenggelam, seribu kata-kata terburai dari mulut kita. Seperti dua orang yang saling membenci, sungguh aku sangat tidak menyukainya. Pintu yang tertutup itu tiba-tiba kamu koyak, dengan seluruh energimu kamu memaksa kunci yang kupasang untuk kau buka. Sayang, aku disini, kenapa kamu ingin pergi dan berlari.

Aku mencintaimu, dan aku ingin memilikimu, bukan orang lain.

Jangan pergi, aku tak ingin kamu pergi.

Dan aku pun memelukmu, lama sekali setelah peluru yang kutembakkan dari pistol yang kau simpan itu berhasil menahanmu.

***

Bau bantal yang sama, aku menghirup dalam-dalam hamparan bedcover yang menutup ranjang kita. Semalam tadi aku datang lagi ke kamar ini, dengan baju yang sama ketika kita disini pertama kalinya. Itu pilihanmu, sebuah dress selutut warna putih yang anggun.

***

Di sebuah makam,

RIP

Kivara

25-12-1978 s/d 10-12-1998

“Sayang, aku berkunjung, aku terlalu rindu padamu.”

gambar dari getty images

Tinggalkan komentar